Oleh : Yosafat C. Lakunsing
Ketua
GMKI Cab. Luwuk
Masa
Bakti 2018 – 2020
Seperti biasa Pagi
itu ( Kamis 25 Juli 2019) setelah bangun dari tidur, saya lalu melakukan beberapa
aktifitas pekerjaan di rumah. Tentunya sambil bekerja, saya mulai menyusun
beberapa rencana kegiatan yang akan dikerjakan hari itu. Setelah aktifitas pagi
selesai, saya bergegas mengambil Handphone
untuk sekedar mengecek info yang masuk di media sosial saya (FB, WA, IG). Hampir semua
informasi/berita yang masuk saat itu memuat tentang penyambutan Festival Pulo
Dua (FPD) di Balantak, yang akan dihadiri Menteri Kelautan Perikanan Dr (Hc)
Susi Pudjiastuti, PEMKAB. Banggai, serta berbagai jenis kegiatan yang
diselenggarakan. Meski saya sama sekali tidak terlibat dalam kegiatan akbar
tersebut, tapi semangatnya begitu terasa.
Satu per satu
medsos saya buka, hingga pada akhirnya saya menemukan satu berita yang di share oleh teman di WA grup. Berita itu memuat
pernyataan seorang Pendeta mengatasnamakan Persatuan Masyarakat Kristen
Sulawesi Tengah yang menyarankan agar “Bupati Banggai Kedepan Haruslah Putra
Daerah”. Postingan berita ini, mendapat berbagai tanggapan dari nitizen. Ada yang setuju, tapi tidak kurang
juga yang tidak setuju dengan macam-macam alasan yang melatar-belakanginya.
Sejauh yang saya
pahami, “Anak Daerah” sama halnya dengan “Anak Negeri”. Yang memiliki arti
seorang putra/putri yang dilahirkan atau yang memiliki garis keturunan yang kental
di suatu daerah. Jadi, misalnya ada seorang anak yang lahir di Banggai dengan
latar belakang etnis Banggai, Balantak, Saluan maka anak itu mutlak akan di
sebut “Anak Daerah” Banggai.
Makna “Anak
Daerah” tadi, kemudian akan berbeda lagi jika kita yang dilahirkan disebuah
wilayah, lalu karena tuntutan studi atau pekerjaan, kita pun harus meninggalkan
tempat kita dan menuju ke suatu wilayah yang apa lagi terbilang maju atau
berkembang dari daerah kita. Istilah “Anak Daerah” kemudian menjadi negative,
karena mengandung arti yang sempit atau terpisah (baca : terkucilkan) dari
tempat baru dimana kita berada. Dalam keadaan seperti inilah kadang seseorang
akan melakukan berbagai upaya untuk bisa menemukan kerabat atau kenalan yang juga
berasal dari daerah atau wilayah yang sama untuk mengobati rasa
ketersendiriannya.
Dari gambaran
sederhana diatas, maka paling tidak kita akan menemukan bahwa semboyan “Anak
Daerah” ternyata begitu tertanam kuat dalam hati setiap orang. Karena akan
berpengaruh baik secara sosiologis maupun politis.
Merupakan hal yang wajar bila dalam satu komunitas
tertentu yang memiliki kesamaan adat istiadat, kebiasaan atau suku (Primordial)
dalam semangat yang sama menentukan seperti apa masa depan mereka (sendiri).
Karena dalam kesamaan adat istiadat biasanya terdapat hal yang menyangkut
ritual-ritual tertentu. Yang pada pihak yang lain juga, semangat primordial
sangat diperlukan untuk melestarikan apa yang menjadi kebudayaan atau kebiasaan
turun-temurun yang itu tidak mungkin dipaksakan untuk dilaksanakan pada
kelompok etnis lainnya.
Belakangan ini, dalam beberapa pantauan media sosial,
media massa, maupun percakapan-percakapan di warkop. Sebagian masyarakat mulai
berbagi cerita dan informasi tentang figur-figur yang akan bertarung pada kontestasi
Pemilihan Kepala Daerah akan datang. Dan tak ketinggalan isu Primodialisme
kembali “ditiup” kepermukaan, hal ini tentu menjadi sebuah diskursus yang
menarik bagi yang terbiasa mengembangkan ide atau gagasannya yang pada akhirnya
akan bermuara pada kesimpulan pribadi dalam menentukan kriteria pemimpin ideal.
Namun isu Primordialisme ini juga akan melahirkan persepsi yang berbeda bagi
mereka yang hanya bisa menerima atau mendengar saja, apa lagi yang
menyampaikannya adalah seorang tokoh umat, hingga pada akhirnya akan melahirkan
kebuntuan bahkan mungkin perpecahan dalam komunitasnya karena perbedaan
pandangan dalam menentukan kriteria pemimpin ideal.
Memilih pemimpin apa lagi setingkat Kepala Daerah,
tentu tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan dengan sekedar meniup isu
Primordialisme. Apa lagi jika hanya ingin memenuhi nafsu politis atau kehendak
berkuasa semata. Sebab, seorang calon
Kepala Daerah ketika terpilih tentunya akan melayani segenap komponen
masyarakat apapun latar belakang Suku, Agama, dan keyakinan. Lebih dari pada
itu, menentukan Calon Kepala Daerah juga harus memperhatikan rekam jejak,
kompetensi atau kapabilitas yang dimiliki.
Sehingga jika terpilih nanti, seorang Kepala Daerah
tidak hanya terpaku pada entitas kecil saja, melainkan mampu melakukan
penyatuan untuk melahirkan harmoni bagi kelangsungan pembangunan di daerah Kab.
Banggai.