Selamat datang

GMKI LUWUK ►►PERHATIAN WEB INI MASIH TAHAP PERBAIKAN sebagian button mungkin tidak berfungsi!!!

Friday, July 26, 2019

Gagasan “Anak Daerah” Bagi Suksesi Kepemimpinan Di Kabupaten Banggai




Oleh : Yosafat C. Lakunsing
Ketua GMKI Cab. Luwuk
Masa Bakti 2018 – 2020

Seperti biasa Pagi itu ( Kamis 25 Juli 2019) setelah bangun dari tidur, saya lalu melakukan beberapa aktifitas pekerjaan di rumah. Tentunya sambil bekerja, saya mulai menyusun beberapa rencana kegiatan yang akan dikerjakan hari itu. Setelah aktifitas pagi selesai, saya bergegas mengambil Handphone untuk sekedar mengecek info yang masuk di media sosial saya (FB, WA, IG). Hampir semua informasi/berita yang masuk saat itu memuat tentang penyambutan Festival Pulo Dua (FPD) di Balantak, yang akan dihadiri Menteri Kelautan Perikanan Dr (Hc) Susi Pudjiastuti, PEMKAB. Banggai, serta berbagai jenis kegiatan yang diselenggarakan. Meski saya sama sekali tidak terlibat dalam kegiatan akbar tersebut, tapi semangatnya begitu terasa.
Satu per satu medsos saya buka, hingga pada akhirnya saya menemukan satu berita yang di share oleh teman di WA grup. Berita itu memuat pernyataan seorang Pendeta mengatasnamakan Persatuan Masyarakat Kristen Sulawesi Tengah yang menyarankan agar “Bupati Banggai Kedepan Haruslah Putra Daerah”. Postingan berita ini, mendapat berbagai tanggapan dari nitizen. Ada yang setuju, tapi tidak kurang juga yang tidak setuju dengan macam-macam alasan yang melatar-belakanginya.

Sejauh yang saya pahami, “Anak Daerah” sama halnya dengan “Anak Negeri”. Yang memiliki arti seorang putra/putri yang dilahirkan atau yang memiliki garis keturunan yang kental di suatu daerah. Jadi, misalnya ada seorang anak yang lahir di Banggai dengan latar belakang etnis Banggai, Balantak, Saluan maka anak itu mutlak akan di sebut “Anak Daerah” Banggai.
Makna “Anak Daerah” tadi, kemudian akan berbeda lagi jika kita yang dilahirkan disebuah wilayah, lalu karena tuntutan studi atau pekerjaan, kita pun harus meninggalkan tempat kita dan menuju ke suatu wilayah yang apa lagi terbilang maju atau berkembang dari daerah kita. Istilah “Anak Daerah” kemudian menjadi negative, karena mengandung arti yang sempit atau terpisah (baca : terkucilkan) dari tempat baru dimana kita berada. Dalam keadaan seperti inilah kadang seseorang akan melakukan berbagai upaya untuk bisa menemukan kerabat atau kenalan yang juga berasal dari daerah atau wilayah yang sama untuk mengobati rasa ketersendiriannya.
Dari gambaran sederhana diatas, maka paling tidak kita akan menemukan bahwa semboyan “Anak Daerah” ternyata begitu tertanam kuat dalam hati setiap orang. Karena akan berpengaruh baik secara sosiologis maupun politis.

Merupakan hal yang wajar bila dalam satu komunitas tertentu yang memiliki kesamaan adat istiadat, kebiasaan atau suku (Primordial) dalam semangat yang sama menentukan seperti apa masa depan mereka (sendiri). Karena dalam kesamaan adat istiadat biasanya terdapat hal yang menyangkut ritual-ritual tertentu. Yang pada pihak yang lain juga, semangat primordial sangat diperlukan untuk melestarikan apa yang menjadi kebudayaan atau kebiasaan turun-temurun yang itu tidak mungkin dipaksakan untuk dilaksanakan pada kelompok etnis lainnya.
Belakangan ini, dalam beberapa pantauan media sosial, media massa, maupun percakapan-percakapan di warkop. Sebagian masyarakat mulai berbagi cerita dan informasi tentang figur-figur yang akan bertarung pada kontestasi Pemilihan Kepala Daerah akan datang. Dan tak ketinggalan isu Primodialisme kembali “ditiup” kepermukaan, hal ini tentu menjadi sebuah diskursus yang menarik bagi yang terbiasa mengembangkan ide atau gagasannya yang pada akhirnya akan bermuara pada kesimpulan pribadi dalam menentukan kriteria pemimpin ideal. Namun isu Primordialisme ini juga akan melahirkan persepsi yang berbeda bagi mereka yang hanya bisa menerima atau mendengar saja, apa lagi yang menyampaikannya adalah seorang tokoh umat, hingga pada akhirnya akan melahirkan kebuntuan bahkan mungkin perpecahan dalam komunitasnya karena perbedaan pandangan dalam menentukan kriteria pemimpin ideal.
Memilih pemimpin apa lagi setingkat Kepala Daerah, tentu tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan dengan sekedar meniup isu Primordialisme. Apa lagi jika hanya ingin memenuhi nafsu politis atau kehendak berkuasa semata. Sebab,  seorang calon Kepala Daerah ketika terpilih tentunya akan melayani segenap komponen masyarakat apapun latar belakang Suku, Agama, dan keyakinan. Lebih dari pada itu, menentukan Calon Kepala Daerah juga harus memperhatikan rekam jejak, kompetensi atau kapabilitas yang dimiliki.
Sehingga jika terpilih nanti, seorang Kepala Daerah tidak hanya terpaku pada entitas kecil saja, melainkan mampu melakukan penyatuan untuk melahirkan harmoni bagi kelangsungan pembangunan di daerah Kab. Banggai.