Oleh : Andreas A. Yewangoe
Dewan Pengarah Badan Pembinaan Idiologi Pancasila
Sekaligus
Ketua Majelis Pertimbangan PGI
I.
“Kembali”
Mengapa
“Kembali”? Karena kita sudah menyimpang selama ini. Kalau kita terus berjalan
pada jalan yang menyimpang, kita tidak akan pernah tiba pada tujuan. Bahkan
kita akan sesat di jalan.
Pancasila
adalah identitas bangsa. Bahkan hampir-hampir bisa dikatakan, “Indonesia adalah
Pancasila”, dan “Pancasila adalah Indonesia”. Maka semboyan yang baru saja
dipopulerkan oleh Presiden Joko Widodo: “Saya Indonesia, Saya Pancasila”,
adalah tepat.
II.
Pancasila
Adalah Dasar Negara
Pidato
Bung Karno pada 1 Juni 1945 di depan “Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (Dokuritsu Zyonbi Tiosikai) mencoba
menjawab pertanyaan mendasar, bahkan
tantangan Ketua, Dr. Radjiman: “Apakah dasar dari negara yang bakal didirikan
itu?” Telah ada beberapa orang yang menyampaikan gagasannya sebelumnya. Bung
Karno memformulasikan pikiran dan gagasannya dalam pertemuan itu melalui pidato
cemerlang tanpa teks tertulis, belakangan dikenal sebagai, “Pidato Lahirnya
Pancasila”. Bung Karno memakai istilah bahasa Belanda: “Philosofische Grondslag”, dasar filosofis dari adanya dan tegaknya
negara. Jelas bahwa pendasaran dari ada dan tegaknya negara ini sangat dalam.
Dasar itu tidak ada secara kebetulan. Dasar itu juga tidak sekadar meniru-niru
dasar negara-negara lain, kendati boleh saja ditimba inspirasi dari situ. Bung
Karno, misalnya dalam sebuah kesempatan lain mengatakan bahwa Pancasila adalah
“Hogere Optrekking” (bahasa Belanda, penarikan ke atas) dari “Manifesto Komunis”
(milik Negara Uni Sovyet) dan “Declaration of Independence” (milik Amerika
Serikat). Bung Karno juga menyebut San Mi Cu I dari Chiang Kai Sek (China) dalam
pidato tersebut sebagai inspirasi lain. Tetapi haruslah tetap ditegaskan, dasar
Negara Pancasila mempunyai akar filosofis yang dalam tertanam di dalam buminya
Indonesia sendiri.
Selain istilah bahasa Belanda itu, Bung Karno juga
mempergunakan istilah bahasa Jerman, Weltanschauung,
yang mengacu kepada pandangan hidup sebuah bangsa (masyarakat, komunitas).
Dengan pandangan hidup itu, bangsa (masyarakat, komunitas) tersebut mengenal
dirinya sendiri, dan sekali gus juga “dunia” yang di dalamnya ia hidup. Jadi
kalau Pancasila adalah “Philosofische Grondslag” dan “Weltanschauung”, maka
secara paripurna ia telah mengacu kepada adanya “negara” dan “bangsa” yang
hidup di dalam negara itu. Dengan memahami diri (jatidiri) dan dunia yang di
dalamnya bangsa itu hidup, maka dengan sangat jelas digarisbawahi hal Kepribadian
Bangsa itu.
III.
Kebangsaan
Bukan
pula sebuah kebetulan kalau Bung Karno mendahulukan prinsip “Kebangsaan” di
dalam pidatonya itu. Gairah berbangsa pada waktu itu menguasai suasana batin
para pendengar. Pertanyaan pertama Bung Karno adalah, “Apakah Bangsa itu?”
Bangsa adalah, dengan mengutup Ernest Renan, “...mereka yang mempunyai kehendak
untuk bersatu” (le desir d’etre ensemble).
Selanjutnya Bung Karno mengutip lagi Otto Bauer, dari dalam bukunya, Die Nationalenfrage: “Was ist eine Nation? Eine Nation ist eine
aus Schiksalgemeinschaft erwaschene Charactergemeinschaft” (Apakah bangsa?
Bangsa adalah suatu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).
Dengan demikian, yang “merekat” kita sebagai “bangsa” adalah “persatuan nasib”.
Ada nasib bersama. Apakah nasib bersama itu? Itulah nasib ketika kita secara
bersama-sama berada di bawah penjajahan asing selama ratusan tahun
(kolonialisme Belanda, Inggris, dan fasisme Jepang). Sebagaimana kita ketahui,
latar-belakang kita adalah bangsa-bangsa (Volkeren)
yang mendiami Nusantara ini. Ada bangsa Jawa, ada bangsa Sunda, ada bangsa
Madura, bangsa Batak, bangsa Bugis, bangsa Timor, bangsa Sumba, dan seterusnya.
Setiap bangsa tampil dengan bentuk kerajaannya masing-masing. Tidak jarang
kerajaan-kerajaan itu saling bertentangan satu sama lain. Tetapi nasib bersama
itu telah mempersatukan kita sebagai satu bangsa: Indonesia. Sebagai demikian,
bangsa Indonesia adalah sebuah novum di
atas pentas sejarah dunia. Hal itu dimulai dengan tonggak, “Sumpah Pemuda”
(1928) yang sesungguhnya didahului dengan sebuah kesadaran kebangsaan dengan
dibentuknya “Budi Utomo” (1908). Kebangsaan kita lebih ditegaskan lagi dalam
sebuah tonggak sejarah penting lain, “Proklamasi Kemerdekaan” (1945). Yang memproklamasikan
kemerdekaan itu adalah BANGSA Indonesia.
Maka,
kata Bung Karno, kendati kita mempunyai kehendak untuk bersatu, adanya
persatuan nasib, namun itu tidak cukup. Kita membutuhkan “Nationale Staat” (Negara Kebangsaan) yang di dalamnya cita-cita
Proklamasi dapat diwujudkan. Marilah kita camkan, yang didirikan adalah “Negara
Kebangsaan”, bukan “Kerajaan”, bukan “Negara Agama”. Dasar dari Negara
Kebangsaan itu adalah Pancasila. Sebagai demikian dapatlah disimpulkan, Pancasila
adalah Dasar Negara, Ideologi Bangsa. Bahkan dapat pula disebut “Rumah
Bersama”.
IV.
Ada
Gangguan Terhadap Pancasila
Dalam
sejarahnya Pancasila mengalami gangguan-gangguan dan goncangan-goncangan dari
berbagai pihak: DI/TII, Daud Beureuh di Aceh, Komunisme/PKI, RMS,
PRRI/Permesta. Tentu saja gangguan-gangguan dan goncangan-goncangan itu
merupakan ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup Negara Pancasila ini.
Namun negara kita berhasil “survive’ hingga saat ini. Tokh, gangguan-gangguan
itu tetap saja ada. Ada ideologi-ideologi asing yang melanda Indonesia dalam
tahun-tahun terakhir ini. Namun setiap ideologi asing yang masuk ke Indonesiamestinya
selalu ditempatkan di bawah teropong nilai-nilai Pancasila.
Orde
Baru pernah mencanangkan untuk mempancasilakan seluruh lembaga dan masyarakat
Indonesia. Demikianlah program besar-besaran yang dikenal sebagai “Penataran
P4” dilakukan di seluruh Indonesia. Pelaksanaan penataran diserahkan kepada
BP7, sebuah lembaga yang kuat dan jaringannya terbentang mulai dari Pusat
hingga ke Kelurahan-kelurahan. Semua masyarakat Indonesia dari segala golongan
dan usia ditatar sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing.
Sayang
pendekatannya terlampau doktriner dan indoktrinatip. P4 juga cenderung dipakai sebagai
alat penekan. Seorang PNS bisa naik pangkat kalau lulus P4. Sebaliknya
seseorang bisa dimutasikan kalau gagal. Maka alih-alih memperoleh kesenangan di
dalam mengikuti P4, orang cenderung mengalami “trauma”. Lebih buruk lagi,
Pancasila telah berubah menjadi ideologi guna mempertahankan kekuasaan yang
penuh dengan KKN. Patut dicatat bahwa program ini telah berhasil menatar
sebagian besar rakyat Indonesia dari segala golongan. Tetapi apakah penataran
itu sungguh-sungguh menghasilkan perubahan sikap mental menjadi pancasilais,
patutlah dipertanyakan.
Maka,
ketika rezim Orde Baru runtuh pada 1998, Pancasila juga ikut-ikutan dianggap
gagal. P4 dihapuskan. Pendidikan Moral Pancasila (PMP) juga ditiadakan dari
kurikulum lembaga-lembaga pendidikan pada setiap aras. Para petinggi negara
juga seakan-akanalergis untuk menyebut Pancasila dalam setiap pertemuan resmi.
Maka sejak maraknya era reformasi, Pancasila segan untuk dibicarakan. Apalagi
untuk diamalkan. Para mahasiswapun hampir-hampir tidak tahu lagi apa yang
disebut Pancasila itu sebagaimana terlihat dalam beberapa survei yang dilakukan.
Lambat-laun terciptalah “Generasi Tuna Pancasila”. Terjadilah kekosongan
ideologi yang parah.
Maka
ketika ideologi-ideologi asing yang bersifat trans-nasional menginvasi Indonesia,
dengan segera diminati. Bahkan memperoleh pengikut. Lebih-lebih di kalangan
orang-orang muda. Dari berbagai ideologi yang tidak sesuai, bahkan bertentangan
dengan Pancasila yang memasuki Indonesia adalah “Wahabi”. Ini adalah sebuah
gerakan pemurnian Islam yang asal-usulnya dapat ditelusuri hingga ke Arab Saudi.
Kemudian ada juga “Hisbut Tahrir Indonesia” (HTI) yang bercita-cita mendirikan
sistem pemerintahan Khilafah seturut model abad ke-6, 7 AD. Barangkali masih
ada aliran-aliran lain yang kecil tetapi militan seperti mereka yangmau
mencapai tujuannya dengan menerapkan kekerasan: bom dan teror. Mungkin juga ada
yang terdeteksi oleh pihak keamanan tetapi dianggap kurang berbahaya.
Jelas,
masuknya aliran-aliran yang bukan saja berbeda, tetapi malah bertentangan
dengan Pancasila ini berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Bhineka
Tunggal Ika terancam tercabik-cabik, sementara politik identitas (SARA)
cenderung memperoleh tempat di dalam masyarakat. Lambat atau cepat, Indonesia
sebagai Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 akan runtuh berantakan apabila tidak
ada tindakan pemulihan yang signifikan dari Negara.
V.
Menuju
Kepada Pemulihan
Pemerintahan Presiden
Joko Widodo tidak berdiam diri saja melihat berbagai perkembangan yang tidak
sesuai dengan cita-cita Negara Proklamasi ini. Pancasila kembali ditempatkan
pada posisi dan tracknya yang benar.
Hal itu terungkap dalam beberapa aksi yang dilakukan Pemerintah. Perayaan “Hari
Kelahiran Pancasila, 1 Juni dicanangkan yang disatunafaskan dengan catatan
historis 22 Juni dan 18 Agustus. Ini menegaskan bahwa Pancasila telah
memperoleh rumusan final dan resmi sebagaimana tertulis di dalam “Pembukaan UUD
1945”. Sebelumnya (mantan) Ketua MPR-RI, Taufik Kiemas telah mempopulerkan yang
disebut, 4 (empat) Pilar yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal
Ika. Kendati masih perlu didiskusikan apakah Pancasila tidak cukup hanya
disebut pilar, melainkan dasar, namun upaya Taufik Kiemas ini patut dihargai
tinggi.
Selanjutnya,
dengan Peraturan Presiden No.54/2017 dibentuk pula “Unit Kerja
Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila” (UKP-PIP). Unit ini baru saja ditingkatkan
statusnya sebagai “Badan” dan dengan demikian setara dengan sebuah kementerian
berdasarkan Peraturan Presiden No.7/2018. Adapun tugasnya adalah, “membantu
Presiden merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila dan
melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi
Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan.” Sementara fungsinya dirumuskan
sebagai berikut: a. perumusan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila;
b. penyusunan garis-garis besar haluan ideologi Pancasila dan roadmap pembinaan
ideologi Pancasila; c. koordinasi,sinkronisasi, dan pengendalian pelaksanaan
pembinaan ideologi Pancasila; d.pemantauan, evaluasi dan pengusulan langkah dan
strategi untuk memperlancar pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila; f. pelaksanaan
kerjasama dan hubungan antar-lembaga dalam pelaksanaan pembinaan ideologi
Pancasila.
Sejak dilantik
pada 7 Juni 2017 lalu, Badan ini telah berusaha menjajagi berbagai kemungkinan
untuk kembali mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui berbagai cara.
Tentu saja, Badan ini tidak dapat dianggap sama dengan BP7 di era Orde Baru.
Badan ini melihat dirinya sebagai fasilitator dari berbagai kegiatan yang
sesungguhnya dilaksanakan olehmasyarakat sendiri. Pendeknya, basis kegiatan
terletak pada komunitas-komunitas di dalam masyarakat.
Dalam
diskusi-diskusi yang diselenggarakan internal dari Badan ini disinyalir
bahwa pelaksanaan Sila ke-5 Pancasila, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia” harus mendapat
perhatian yang lebih serius lagi. Adanya kesenjangan-kesenjangan di dalam masyarakat,
terutama secara ekonomis ikut memicu berbagai ketegangan yang ujung-ujungnya
bisa mengancam keutuhan Republik Indonesia. Tentu sila ke-5 bukan satu-satunya
yang mendapat perhatian kita. Tetapi kita memang berusaha agar membumikan
Pancasila untuk Indonesia yang berkeadilan sungguh-sungguh memperoleh wujud nyata.
Keyakinan ideologis tertentu yang memang bertentangan dengan Pancasila adalah
nyata. Sebagaimana kita ketahui, Presiden telah membubarkan HTI berdasar Perppu
No.2/2017. Sementara itu Perppu ini telah menjadi UU. Dengan ditingkatkannya
menjadi UU terlihat keseriusan Negara untuk sungguh-sungguh memulihkan
kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara, di mana setiap ideologi yang
muncul bertentangan dengan Pancasila dapat ditangkal.
Semua upaya mengarusutamakan
Pancasila ini di dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai negara, bangsa dan
masyarakat Indonesia diharapkan akan berbuah pada pemulihan kembali bangsa ini
sebagai bangsa yang ber-Pancasila. Kita optimis keyakinan ini akan terwujud.
No comments:
Post a Comment