Selamat datang

GMKI LUWUK ►►PERHATIAN WEB INI MASIH TAHAP PERBAIKAN sebagian button mungkin tidak berfungsi!!!

Thursday, April 26, 2018

KEMBALI KE PANCASILA UNTUK MERAWAT KEBHINEKAAN

                                       
                                   Oleh : Andreas A. Yewangoe 
                    Dewan Pengarah Badan Pembinaan Idiologi Pancasila
                            Sekaligus Ketua Majelis Pertimbangan PGI
 



I.                   “Kembali”
Mengapa “Kembali”? Karena kita sudah menyimpang selama ini. Kalau kita terus berjalan pada jalan yang menyimpang, kita tidak akan pernah tiba pada tujuan. Bahkan kita akan sesat di jalan.
Pancasila adalah identitas bangsa. Bahkan hampir-hampir bisa dikatakan, “Indonesia adalah Pancasila”, dan “Pancasila adalah Indonesia”. Maka semboyan yang baru saja dipopulerkan oleh Presiden Joko Widodo: “Saya Indonesia, Saya Pancasila”, adalah tepat.

II.                Pancasila Adalah Dasar Negara
Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 di depan “Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (Dokuritsu Zyonbi Tiosikai) mencoba menjawab pertanyaan  mendasar, bahkan tantangan Ketua, Dr. Radjiman: “Apakah dasar dari negara yang bakal didirikan itu?” Telah ada beberapa orang yang menyampaikan gagasannya sebelumnya. Bung Karno memformulasikan pikiran dan gagasannya dalam pertemuan itu melalui pidato cemerlang tanpa teks tertulis, belakangan dikenal sebagai, “Pidato Lahirnya Pancasila”. Bung Karno memakai istilah bahasa Belanda: “Philosofische Grondslag”, dasar filosofis dari adanya dan tegaknya negara. Jelas bahwa pendasaran dari ada dan tegaknya negara ini sangat dalam. Dasar itu tidak ada secara kebetulan. Dasar itu juga tidak sekadar meniru-niru dasar negara-negara lain, kendati boleh saja ditimba inspirasi dari situ. Bung Karno, misalnya dalam sebuah kesempatan lain mengatakan bahwa Pancasila adalah “Hogere Optrekking” (bahasa Belanda, penarikan ke atas) dari “Manifesto Komunis” (milik Negara Uni Sovyet) dan “Declaration of Independence” (milik Amerika Serikat). Bung Karno juga menyebut San Mi Cu I dari Chiang Kai Sek (China) dalam pidato tersebut sebagai inspirasi lain. Tetapi haruslah tetap ditegaskan, dasar Negara Pancasila mempunyai akar filosofis yang dalam tertanam di dalam buminya Indonesia sendiri.
Selain istilah bahasa Belanda itu, Bung Karno juga mempergunakan istilah bahasa Jerman, Weltanschauung, yang mengacu kepada pandangan hidup sebuah bangsa (masyarakat, komunitas). Dengan pandangan hidup itu, bangsa (masyarakat, komunitas) tersebut mengenal dirinya sendiri, dan sekali gus juga “dunia” yang di dalamnya ia hidup. Jadi kalau Pancasila adalah “Philosofische Grondslag” dan “Weltanschauung”, maka secara paripurna ia telah mengacu kepada adanya “negara” dan “bangsa” yang hidup di dalam negara itu. Dengan memahami diri (jatidiri) dan dunia yang di dalamnya bangsa itu hidup, maka dengan sangat jelas digarisbawahi hal Kepribadian Bangsa itu.
III.             Kebangsaan
Bukan pula sebuah kebetulan kalau Bung Karno mendahulukan prinsip “Kebangsaan” di dalam pidatonya itu. Gairah berbangsa pada waktu itu menguasai suasana batin para pendengar. Pertanyaan pertama Bung Karno adalah, “Apakah Bangsa itu?” Bangsa adalah, dengan mengutup Ernest Renan, “...mereka yang mempunyai kehendak untuk bersatu” (le desir d’etre ensemble). Selanjutnya Bung Karno mengutip lagi Otto Bauer, dari dalam bukunya, Die Nationalenfrage: “Was ist eine Nation? Eine Nation ist eine aus Schiksalgemeinschaft erwaschene Charactergemeinschaft” (Apakah bangsa? Bangsa adalah suatu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib). Dengan demikian, yang “merekat” kita sebagai “bangsa” adalah “persatuan nasib”. Ada nasib bersama. Apakah nasib bersama itu? Itulah nasib ketika kita secara bersama-sama berada di bawah penjajahan asing selama ratusan tahun (kolonialisme Belanda, Inggris, dan fasisme Jepang). Sebagaimana kita ketahui, latar-belakang kita adalah bangsa-bangsa (Volkeren) yang mendiami Nusantara ini. Ada bangsa Jawa, ada bangsa Sunda, ada bangsa Madura, bangsa Batak, bangsa Bugis, bangsa Timor, bangsa Sumba, dan seterusnya. Setiap bangsa tampil dengan bentuk kerajaannya masing-masing. Tidak jarang kerajaan-kerajaan itu saling bertentangan satu sama lain. Tetapi nasib bersama itu telah mempersatukan kita sebagai satu bangsa: Indonesia. Sebagai demikian, bangsa Indonesia adalah sebuah novum di atas pentas sejarah dunia. Hal itu dimulai dengan tonggak, “Sumpah Pemuda” (1928) yang sesungguhnya didahului dengan sebuah kesadaran kebangsaan dengan dibentuknya “Budi Utomo” (1908). Kebangsaan kita lebih ditegaskan lagi dalam sebuah tonggak sejarah penting lain, “Proklamasi Kemerdekaan” (1945). Yang memproklamasikan kemerdekaan itu adalah BANGSA Indonesia.
Maka, kata Bung Karno, kendati kita mempunyai kehendak untuk bersatu, adanya persatuan nasib, namun itu tidak cukup. Kita membutuhkan “Nationale Staat” (Negara Kebangsaan) yang di dalamnya cita-cita Proklamasi dapat diwujudkan. Marilah kita camkan, yang didirikan adalah “Negara Kebangsaan”, bukan “Kerajaan”, bukan “Negara Agama”. Dasar dari Negara Kebangsaan itu adalah Pancasila. Sebagai demikian dapatlah disimpulkan, Pancasila adalah Dasar Negara, Ideologi Bangsa. Bahkan dapat pula disebut “Rumah Bersama”.

IV.             Ada Gangguan Terhadap Pancasila
Dalam sejarahnya Pancasila mengalami gangguan-gangguan dan goncangan-goncangan dari berbagai pihak: DI/TII, Daud Beureuh di Aceh, Komunisme/PKI, RMS, PRRI/Permesta. Tentu saja gangguan-gangguan dan goncangan-goncangan itu merupakan ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup Negara Pancasila ini. Namun negara kita berhasil “survive’ hingga saat ini. Tokh, gangguan-gangguan itu tetap saja ada. Ada ideologi-ideologi asing yang melanda Indonesia dalam tahun-tahun terakhir ini. Namun setiap ideologi asing yang masuk ke Indonesiamestinya selalu ditempatkan di bawah teropong nilai-nilai Pancasila.
Orde Baru pernah mencanangkan untuk mempancasilakan seluruh lembaga dan masyarakat Indonesia. Demikianlah program besar-besaran yang dikenal sebagai “Penataran P4” dilakukan di seluruh Indonesia. Pelaksanaan penataran diserahkan kepada BP7, sebuah lembaga yang kuat dan jaringannya terbentang mulai dari Pusat hingga ke Kelurahan-kelurahan. Semua masyarakat Indonesia dari segala golongan dan usia ditatar sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing.
Sayang pendekatannya terlampau doktriner dan indoktrinatip. P4 juga cenderung dipakai sebagai alat penekan. Seorang PNS bisa naik pangkat kalau lulus P4. Sebaliknya seseorang bisa dimutasikan kalau gagal. Maka alih-alih memperoleh kesenangan di dalam mengikuti P4, orang cenderung mengalami “trauma”. Lebih buruk lagi, Pancasila telah berubah menjadi ideologi guna mempertahankan kekuasaan yang penuh dengan KKN. Patut dicatat bahwa program ini telah berhasil menatar sebagian besar rakyat Indonesia dari segala golongan. Tetapi apakah penataran itu sungguh-sungguh menghasilkan perubahan sikap mental menjadi pancasilais, patutlah dipertanyakan.
Maka, ketika rezim Orde Baru runtuh pada 1998, Pancasila juga ikut-ikutan dianggap gagal. P4 dihapuskan. Pendidikan Moral Pancasila (PMP) juga ditiadakan dari kurikulum lembaga-lembaga pendidikan pada setiap aras. Para petinggi negara juga seakan-akanalergis untuk menyebut Pancasila dalam setiap pertemuan resmi. Maka sejak maraknya era reformasi, Pancasila segan untuk dibicarakan. Apalagi untuk diamalkan. Para mahasiswapun hampir-hampir tidak tahu lagi apa yang disebut Pancasila itu sebagaimana terlihat dalam beberapa survei yang dilakukan. Lambat-laun terciptalah “Generasi Tuna Pancasila”. Terjadilah kekosongan ideologi yang parah.
Maka ketika ideologi-ideologi asing yang bersifat trans-nasional menginvasi Indonesia, dengan segera diminati. Bahkan memperoleh pengikut. Lebih-lebih di kalangan orang-orang muda. Dari berbagai ideologi yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan Pancasila yang memasuki Indonesia adalah “Wahabi”. Ini adalah sebuah gerakan pemurnian Islam yang asal-usulnya dapat ditelusuri hingga ke Arab Saudi. Kemudian ada juga “Hisbut Tahrir Indonesia” (HTI) yang bercita-cita mendirikan sistem pemerintahan Khilafah seturut model abad ke-6, 7 AD. Barangkali masih ada aliran-aliran lain yang kecil tetapi militan seperti mereka yangmau mencapai tujuannya dengan menerapkan kekerasan: bom dan teror. Mungkin juga ada yang terdeteksi oleh pihak keamanan tetapi dianggap kurang berbahaya.
Jelas, masuknya aliran-aliran yang bukan saja berbeda, tetapi malah bertentangan dengan Pancasila ini berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Bhineka Tunggal Ika terancam tercabik-cabik, sementara politik identitas (SARA) cenderung memperoleh tempat di dalam masyarakat. Lambat atau cepat, Indonesia sebagai Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 akan runtuh berantakan apabila tidak ada tindakan pemulihan yang signifikan dari Negara.

V.                Menuju Kepada Pemulihan
Pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak berdiam diri saja melihat berbagai perkembangan yang tidak sesuai dengan cita-cita Negara Proklamasi ini. Pancasila kembali ditempatkan pada posisi dan tracknya yang benar. Hal itu terungkap dalam beberapa aksi yang dilakukan Pemerintah. Perayaan “Hari Kelahiran Pancasila, 1 Juni dicanangkan yang disatunafaskan dengan catatan historis 22 Juni dan 18 Agustus. Ini menegaskan bahwa Pancasila telah memperoleh rumusan final dan resmi sebagaimana tertulis di dalam “Pembukaan UUD 1945”. Sebelumnya (mantan) Ketua MPR-RI, Taufik Kiemas telah mempopulerkan yang disebut, 4 (empat) Pilar yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Kendati masih perlu didiskusikan apakah Pancasila tidak cukup hanya disebut pilar, melainkan dasar, namun upaya Taufik Kiemas ini patut dihargai tinggi.
Selanjutnya, dengan Peraturan Presiden No.54/2017 dibentuk pula “Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila” (UKP-PIP). Unit ini baru saja ditingkatkan statusnya sebagai “Badan” dan dengan demikian setara dengan sebuah kementerian berdasarkan Peraturan Presiden No.7/2018. Adapun tugasnya adalah, “membantu Presiden merumuskan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila dan melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan.” Sementara fungsinya dirumuskan sebagai berikut: a. perumusan arah kebijakan umum pembinaan ideologi Pancasila; b. penyusunan garis-garis besar haluan ideologi Pancasila dan roadmap pembinaan ideologi Pancasila; c. koordinasi,sinkronisasi, dan pengendalian pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila; d.pemantauan, evaluasi dan pengusulan langkah dan strategi untuk memperlancar pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila; f. pelaksanaan kerjasama dan hubungan antar-lembaga dalam pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila.
Sejak dilantik pada 7 Juni 2017 lalu, Badan ini telah berusaha menjajagi berbagai kemungkinan untuk kembali mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui berbagai cara. Tentu saja, Badan ini tidak dapat dianggap sama dengan BP7 di era Orde Baru. Badan ini melihat dirinya sebagai fasilitator dari berbagai kegiatan yang sesungguhnya dilaksanakan olehmasyarakat sendiri. Pendeknya, basis kegiatan terletak pada komunitas-komunitas di dalam masyarakat.
Dalam diskusi-diskusi yang diselenggarakan internal dari Badan ini disinyalir bahwa pelaksanaan Sila ke-5 Pancasila, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” harus mendapat perhatian yang lebih serius lagi. Adanya kesenjangan-kesenjangan di dalam masyarakat, terutama secara ekonomis ikut memicu berbagai ketegangan yang ujung-ujungnya bisa mengancam keutuhan Republik Indonesia. Tentu sila ke-5 bukan satu-satunya yang mendapat perhatian kita. Tetapi kita memang berusaha agar membumikan Pancasila untuk Indonesia yang berkeadilan sungguh-sungguh memperoleh wujud nyata. Keyakinan ideologis tertentu yang memang bertentangan dengan Pancasila adalah nyata. Sebagaimana kita ketahui, Presiden telah membubarkan HTI berdasar Perppu No.2/2017. Sementara itu Perppu ini telah menjadi UU. Dengan ditingkatkannya menjadi UU terlihat keseriusan Negara untuk sungguh-sungguh memulihkan kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara, di mana setiap ideologi yang muncul bertentangan dengan Pancasila dapat ditangkal.
Semua upaya mengarusutamakan Pancasila ini di dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai negara, bangsa dan masyarakat Indonesia diharapkan akan berbuah pada pemulihan kembali bangsa ini sebagai bangsa yang ber-Pancasila. Kita optimis keyakinan ini akan terwujud.

No comments:

Post a Comment