Suatu Refleksi Teologis1
Pengantar
Pluralitas masyarakat Indonesia merupakan suatu tantangan
(chalange) dan sekaligus peluang (opportunity) yang jarang sekali
terjadi dalam sejarah umat manusia, terutama dalam perspektif agama. Tantangan
karena keragaman agamanya, terutama agama-agama dunia, dapat menjadi sumber bagi
lahirnya konflik yang sangat serius dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
termasuk juga beragama. Bawaan nilai-nilai moral, etis dan spiritual agama-agama
dunia yang inherent, terutama karena agama-agama dunia belum berpengalaman
hidup dalam satu lingkungan sosial yang sama, dapat menjadi pemicu terciptanya konflik-konflik
tersebut. Peluang, karena kalau keragaman agama itu bisa tertangani secara
tepat, kemungkinan konflik itu bisa berubah menjadi dukungan moral, etis dan spiritual
yang positif bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan beragama. Maka,
pengalaman Indonesia bisa menjadi suatu sumbangan yang sangat dibutuhkan oleh manusia
masa kini. Dari waktu ke waktu, entah itu dalam dirinya sendiri agama mengandung
sikap-sikap yang eksklusif atau diperalat oleh para pengikutnya untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu, agama dapat mengakibatkan kehancuran bagi kemanusiaan itu sendiri. Lewat
agama dapat tercipta perbedaan kelas manusia, yang pada asasnya merupakan pengingkaran
terhadap keberadaan manusia itu sendiri. Dalam kerangka inilah, kasus Indonesia menjadi
sangat penting.
Selain itu, Indonesia memiliki jalinan sosial, politik, dan kebudayaan yang menjanjikan suatu harapan yang sangat ideal bagi suatu masyarakat heterogen. Dan, karena dunia kita juga adalah dunia yang heterogen, maka pengalaman Indonesia mengatasi heterogenitas itu akan menjadi suatu acuan yang tidak kecil maknanya. Kalau penyelesaian terhadap heterogenitas itu dapat dianalisis berdasarkan suatu refleksi teologis, maka penanganan heterogenitas itu, selain bukan saja merupakan suatu kebutuhan internal Indonesia sendiri, dia juga dibutuhkan oleh bangsa-bangsa lain yang sampai saat ini masih terperangkap oleh perbedaan-perbedaan sosial, politik dan kebudayaan.
Pancasila: Realitas Ideal Indonesia dan Akar Ideologisnya
Pancasila dan Indonesia ibarat satu mata uang. Kedua sisinya
tak bisa dipisahkan. Pemisahan hanya akan mengakibatkan tidak bermaknanya Pancasila
dan Indonesia itu sendiri. Pancasila, dalam hal ini, adalah realitas ideal dari suatu
kondisi material yang terdiri dari berbagai suku-bangsa dengan keragaman sosial budayanya,
yang bernama Indonesia. Dari sudut pemahaman seperti ini, maka Pancasila dapat dilihat
sebagai puncak konsensus manusia Indonesia itu.
Konsensus manusia Indonesia dalam Pancasila itu dapat dijelaskan
sebagai berikut. Sebagaimana diketahui bahwa Pancasila untuk pertama kalinya dicetuskan
oleh Bung Karno tanggal 1 Juni 1945. Pidato yang dikenal dengan Pidato Lahirnya
Pantjasila itu lahir dari perdebatan yang sengit di antara tiga proponen ideologi
yang kuat pada waktu itu, yaitu nasionalisme kedaerahan (khususnya tradisionalisme
Jawa), Islam, dan Marxisme/Sosialisme. Ketiga ideologi ini bukanlah sekadar fenomena
bulan Mei-Juni 1945 ketika dasar negara Indonesia dibicarakan. Perkembangannya sudah
terjadi jauh sebelumnya. Gerakan-gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia dapat dikategorikan
dalam ketiga ideologi itu. Budi Utomo dan ikatan-ikatan daerah lainnya seperti Jong-Ambon,
Jong-Selebes dan sebagainya, adalah beberapa contoh dari komponen nasionalisme kedaerahan
itu. Syarikat Islam, Masyumi dan sebagainya, mewakili komponen Islam. Akhirnya Partai
Komunis, Sosialis dan sebagainya, mewakili Marxisme/Sosialisme. Masing-masing kelompok
itu dengan dasarnya sendiri-sendiri telah berjuang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Karenanya ketika BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
hendak membicarakan dasar dari negara Indonesia yang akan diproklamasikan itu, masing-masing
proponen ideologi berusaha sekuat tenaga untuk menjadikan dasar ideologis mereka
menjadi dasar negara Indonesia. Dalam situasi seperti itulah, Bung Karno datang dengan
usul Pancasilanya, sebagai jalan keluar. Karena itu pula, ada baiknya apabila Pancasila
itu pun juga perlu ditinjau dari sisi belakang ideologis ini.
Ditinjau dari sudut pandang seperti ini, ketika Bung Karno
mengucapkan pidatonya, ia merumuskan Pancasila dengan susunan sebagai berikut:2
1. Kebangsaan Indonesia (Nasionalisme);
2. Internasionalisme, atau peri kemanusiaan;
3. Mufakat, atau demokrasi;
4. Kesejahteraan sosial; dan
5. Ketuhanan.
Pancasila ini dapat diperas menjadi tiga sila (Trisila),
yaitu:
1. Socio-nationalisme;
2. Socio-democratie; dan
3. Ketuhanan.
Cara Bung Karno memeras Pancasila menjadi Trisila menunjuk
kepada latar belakang dari tiga ideologi yang saya sebutkan di atas, yaitu nasionalisme,
Marxisme/Sosialisme dan Islam.3
Rumusan Bung Karno tidak mirip dengan rumusan ketiga ideologi
itu, karena rumusan yang bersifat transformatoris, yaitu rumusan yang mensyaratkan
terjadinya transformasi dari ketiga ideologi tersebut. Karena itu, rumusannya tidaklah
sekadar nasionalisme, melainkan menjadi sosio-nasionalisme; Marxisme/Sosialisme per
se melainkan sosio-demokrasi; dan bukan Islam saja, melainkan Ketuhanan. Transformasi
itu dibutuhkan, karena ketiga ideologi itu berkembang dalam suatu konteks baru yang
bernama Indonesia itu. Karenanya, kalau ketiga ideologi politik itu masih hendak
dikembangkan secara telanjang tanpa memperhatikan konteks barunya, itu merupakan
tindakan yang salah kaprah. Bagi Bung Karno pertimbangan sungguh-sungguh terhadap
ketiga ideologi secara transformatoris ini sudah mulai digumulinya sejak 1920-an,
yaitu ketika Bung Karno menulis Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Di dalam
tulisan itulah Bung Karno secara panjang lebar menjelaskan perlunya ketiga ideologi
itu merumuskan dirinya kembali dalam konteks baru Indonesia.
Dengan rumusan transformatoris, Bung Karno sebenarnya berusaha
untuk memberikan tempat bagi ketiga ideologi untuk berperan dalam mengembangkan masyarakat
dan bangsa Indonesia. Pemberian tempat itu terjadi dengan syarat perlunya dilakukan
transformasi, baik dalam dirinya sendiri, maupun dalam konteks antar(ketiga)ideologi
tersebut. Itu berarti, ketiga ideologi disyaratkan untuk hidup dalam suatu interaksi
yang trialectical, dalam pengertian bahwa dalam interaksi mereka masing-masing perlu
terbuka untuk menerima yang lain, dan perubahan itu juga terjadi dalam dirinya. Ini
semua terjadi dalam batasan cita-cita dan ideal Indonesia, sebagaimana telah diproklamasikan
pada 17 Agustus 1945.
Melihat bahwa dalam jati diri Indonesia terkandung tiga
komponen ideologi yang bukan hanya berskala nasional, tetapi juga internasional,
maka pergumulan bangsa Indonesia dengan demikian mempunyai signifikansi internasional.
Hal ini semakin menjadi penad dengan munculnya kelompok baru dalam masyarakat
Indonesia, yaitu konglomerat (kapitalis) dengan bawaan kapitalismenya. Dalam konteks
berpikir ideologis Indonesia, adanya ideologi seperti ini bukanlah sesuatu yang ilegal
atau yang harus ditiadakan. Keberadaan mereka seharusnya dapat dipergunakan untuk
memperkaya rekayasa sosial bangsa Indonesia. Bahwa, kalau sampai saat ini perbedaan
ideologis itu dirasakan sebagai ancaman dan dengan demikian harus dimusnahkan, itu
lebih disebabkan oleh perilaku proponen ideologi-ideologi itu sendiri. Mereka nampaknya
tidak mengindahkan kondisi (konteks) ke-Indonesia-an itu. Inilah kekayaan ideologis
yang terkandung dalam keberadaan Indonesia.
Kekayaan Indonesia bukan hanya terbatas pada kekayaan ideologi,
melainkan juga kekayaan agama. Kekayaan agama ini bisa berkembang dengan baik apabila
pengembangannya terjadi dalam konteks ke-Indonesia-an itu pula. Untuk itulah, sila
Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila menjadi sangat menentukan. Masa depan Indonesia,
terutama setelah dilakukan pembangunan fisik dan materiel, sangat ditentukan oleh
keberhasilan kita mengatur kehidupan beragama kita. Karena, kehidupan beragama kita
juga terjadi dalam konteks masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Oleh
karena itu, pemahaman terhadap sila pertama itu menjadi penting.
Pancasila Sebagai Bagian Dari Pembukaan UUD 1945
Salah satu cara untuk memahami Pancasila, terutama pemahaman
terhadap sila pertama, adalah dengan menempatkan Pancasila itu sebagai bagian dari
seluruh naskah Pembukaan UUD 1945. Pemahaman terhadap Pancasila yang terlepas dari
Pembukaan UUD 1945 akan menyebabkan terbukanya kemungkinan bagi berkembangnya berbagai
interpretasi yang dapat menghancurkan Pancasila itu sendiri. Pemahaman terhadap Pancasila
sebagai bagian dari seluruh naskah Pembukaan berkaitan dengan adanya hubungan yang
sangat erat antara gagasan yang satu dengan yang lainnya.
Di antara berbagai gagasan yang ada dalam naskah Pembukaan,
dua gagasan yang saling berkaitan adalah gagasan kemerdekaan Indonesia dan gagasan
keberagamaan (religiositas) Indonesia. Gagasan kemerdekaan ini adalah gagasan
yang dapat dikatakan gagasan pokok dari seluruh keberadaan bangsa Indonesia. Tanpa
kemerdekaan, keberadaan kebangsaan tidaklah ada. Terhadap hal ini, bangsa Indonesia
menyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak asasi semua bangsa di dunia. Bangsa Indonesia
dalam hal ini sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Karenanya, menyatakan diri
merdeka adalah realisasi dari hak asasi bangsa itu.
Bagi bangsa Indonesia, kemerdekaan bukanlah sekadar hak
asasi setiap bangsa. Kemerdekaan itu adalah juga rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Dari
pernyataan seperti itu, nampak bahwa bagi bangsa Indonesia, sesuatu yang asasi pun
dilihat dalam perspektif keberagamaannya. Yang asasi itu bukan sekadar hak manusia
per se. Yang asasi itu bisa menjadi hak manusia, karena dimungkinkan oleh
rahmat Tuhan. Dari sini menjadi jelas, bahwa bagi bangsa Indonesia, kemanusiaannya
tidaklah bisa dilepaskan dari penghayatan terhadap keutuhannya. Dalam konteks keragaman
agama yang ada di Indonesia, pemahaman terhadap penghayatan inilah yang menjadi kunci
bagi keragaman yang saya sebutkan di atas. Menjadi kunci karena masing-masing agama
telah memiliki dalam dirinya sendiri pemahaman yang telah baku, yang normatif, terhadap
Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam sejarah agama-agama, terutama sejarah hubungan agama-agama
dunia, telah nampak bahwa pemahaman terhadap Ketuhanan ini sesuatu yang tidak dengan
mudah bisa diselesaikan. Dalam banyak kasus, yang sering nampak adalah kegagalan
dari pada keberhasilan.
Karenanya, menjadi perlu untuk memahami religiositas bangsa
Indonesia ini secara lebih mendalam dalam konteks keseluruhan naskah Pembukaan itu.
Pemahaman Sila pertama dalam konteks Pembukaan UUD '45
Sejak awal, Bangsa Indonesia menyadari, bahwa keberadaannya
dimungkinkan oleh campur tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Alinea ketiga dari Pembukaan
UUD '45 menyatakan, bahwa 'atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka
rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.' Kemerdekaan yang diproklamasikan
oleh bangsa Indonesia itu disadari sebagai terjadi atas berkat rahmat Tuhan Yang
Maha Kuasa. Menurut hemat saya, ini adalah pernyataan religiositas bangsa Indonesia.
Saya katakan pernyataan religiositas, karena dalam kenyataan kemerdekaaan itu diperjuangkan
oleh bangsa Indonesia dengan korban jiwa. Dengan mengatakan hal yang demikian, bangsa
Indonesia mau menunjukkan rasa keagamaan dirinya, bahwa selain perjuangan dan pengorbanan
yang telah dilakukannya, apa yang dicapainya tidak akan bisa dilepaskan begitu saja
dari adanya campur tangan Tuhan yang diyakini itu. Itulah yang saya maksudkan sebagai
religiositas bangsa Indonesia.
Saya berpikir, di situlah letak kekhususan bangsa Indonesia.
Kalau naskah ini dipahami dalam kaitan dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,
maka Tuhan Yang Maha Kuasa ini adalah Tuhan dari 'Kami bangsa Indonesia...'
itu. Ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945, pertanyaan
yang sangat hakiki terhadap pernyataan itu adalah: siapakah bangsa Indonesia itu?
Secara teritorial, maka bangsa Indonesia sudah tentu terdiri
dari kelompok etnis yang terbentang antara Sabang sampai Merauke. Bangsa Indonesia
dengan demikian adalah suatu bangsa yang terdiri dari suku bangsa Minang, Jawa, Batak,
Dayak, Ambon, Bugis, dan lain-lainnya, termasuk pula keturunan Tionghoa, Arab, Belanda
dan Tamil, yang hidup dan terikat pada suatu daerah tertentu, yang pada waktu proklamasi
kemerdekaan dilakukan, merasakannya juga sebagai pernyataan kemerdekaan dirinya sendiri,
yang ingin bersatu di dalam apa yang disebut "Kami bangsa Indonesia..."
itu. Sudah tentu keberanian untuk sampai kepada pernyataan yang satu seperti ini
tidak bisa dipisahkan pula dari fakta Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Di situ, ketekadan
untuk menjadi satu bangsa telah diucapkan. Tetapi, tekad seperti itu barulah mendapatkan
bentuk politiknya sebagai suatu bangsa yang merdeka dengan pemerintahannya yang sah,
ketika Proklamasi dilakukan tanggal 17 Agustus 1945. Karena itu, dapat dikatakan
bahwa secara embrionik, Indonesia telah dikonsepsikan tanggal 28 Oktober 1928. Indonesia
baru lahir secara resmi tanggal 17 Agustus 1945 itu. Bangsa yang demikian itulah
yang memiliki religiositas yang terumuskan dalam Tuhan Yang Maha Kuasa itu (alinea
ketiga), yang Ketuhanannya itu Yang Maha Esa (alinea keempat, sila pertama dari Pancasila).
Pertanyaan yang patut dikembangkan selanjutnya mengenai
hal ini adalah, 'Ketuhanan siapakah itu?' Untuk memahaminya, rumusan ini tidak
bisa dikaitkan dengan rumusan-rumusan lain, kecuali rumusan yang berada dalam suatu
bingkai pemahaman yang sama. Kalau pertanyaan seperti di atas dikaitkan dengan alinea
ketiga, maka jawabannya adalah Ketuhanannya bangsa Indonesia. Siapakah bangsa Indonesia
itu? Bangsa Indonesia itu seperti sudah dikatakan sebelumnya adalah mereka yang berasal
dari latar belakang etnis Minang, Jawa, Batak, Dayak, Ambon, Bugis dan lain-lainnya,
termasuk pula keturunan Tionghoa, Arab, Belanda dan Tamil yang beragama Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha, Kaharingan, Marapu, Kepercayaan, dan sebagainya. Sebenarnya,
pemahaman terhadap Ketuhanan yang demikian sejak awal sejarahnya sudah dimiliki oleh,
paling sedikit, penganut dari tiga agama, yaitu Islam, Kristen dan Hindu. Kalau perubahan
yang diusulkan oleh I Gusti Ktut Pudja terhadap alinea ketiga Pembukaan dari kata
'Allah Yang Maha Kuasa' menjadi 'Tuhan Yang Maha Kuasa' dilihat dengan alasan bahwa
dengan rumusan Tuhan bisa dia hayati juga dalam keberagamaannya yang Hindu.4
Dengan mengatakan demikian ini, maka berdasarkan pernyataan
dirinya sendiri, seperti yang tertuang dalam naskah Pembukaan UUD 1945, bangsa Indonesia
telah menyatakan, bahwa dalam kepelbagaian cara menghayati agamanya mengaku mempunyai
satu religiositas yang sama, yaitu adanya pengakuan bersama terhadap Ketuhanan Yang
Maha Kuasa, dan Ketuhanannya itu adalah Yang Maha Esa. Pemahaman terhadap Ketuhanan
yang demikian ini, harus dimulai dari titik tolak keberadaan bangsa Indonesia itu
sendiri. Kalau pemahaman ini harus dimulai dengan titik tolak yang lain, maka yang
terjadi adalah pengingkaran terhadap keberadaan bangsa Indonesia itu sendiri.
Dengan demikian, adalah menjadi tugas dari para pemuka agama
di Indonesia untuk memahami perilaku beragamanya dalam perspektif ini dengan mengembangkan
landasan-landasan moral bersama sebagai satu bangsa baru. Kalau mereka gagal melakukannya,
maka perilaku beragama mereka hanya akan mengulangi perilaku beragama dari masyarakat
tempat agama-agama itu berasal, terutama agama-agama yang disebut agama dunia. Di
tempat lahirnya, agama-agama tersebut adalah anak-mas. Tentu, agama-agama yang menjadi
anak-mas pada masyarakatnya masih bisa diterima. Akan tetapi, kalau dalam satu masyarakat
baru para anak-mas itu masing-masing harus menuntut diperlakukan sebagai yang demikian,
maka masyarakat itulah yang akan hancur. Sejarah telah membuktikannya untuk jangka
waktu yang cukup lama.
Ketika para anak-mas itu harus hidup dalam suatu masyarakat
yang bernama Indonesia ini, umat manusia berkesempatan untuk melihat adanya suatu
peluang yang jarang sekali didapatkan dalam sejarahnya, bahkan mungkin belum pernah
terjadi, yaitu bahwa beberapa anak-masnya itu harus memahami dirinya bukan lagi sebagai
anak-mas, tetapi bersama-sama mereka adalah anak-masyarakatnya, anak bangsanya, dan
anak manusia. Inilah Agenda Indonesia, agenda yang bukan hanya bermanfaat bagi manusia
Indonesia, melainkan juga bagi umat manusia seluruhnya.
Banyak gambaran buruk yang mengerikan yang menghantui umat
manusia masa kini. Gambaran Scotlandia, gambaran Libanon, gambaran India, gambaran
Srilanka, gambaran Palestina, gambaran Soviet-Uni, dan kini gambaran Yugoslavia,
gambaran-gambaran yang dapat menghancurkan kemanusiaan kita. Seorang Indonesia yang
sejati tidak akan berbangga dengan dirinya, kalau dia mendapati kenyataan, bahwa
semua upaya pengembangan dirinya lalu harus jatuh ke dalam satu hegemoni, yang dirinya
merupakan satu titik dari jaringan hegemoni itu, entah itu hegemoni kristiani, islami,
komunis, kapitalis, Barat, Timur Tengah, atau yang lainnya. Dia baru akan menjadi
bangga dengan dirinya kalau dia akhirnya menjadi dirinya sendiri, menjadi Indonesia.
Di situlah terletak keunikan Indonesia itu. Karena itu,
kemerdekaan yang kita proklamasikan itu mempunyai makna yang sangat dalam. Negara
Republik Indonesia itu adalah suatu kenyataan yang oleh bangsa Indonesia sendiri
haruslah dipertanggungjawabkan secara saksama, karena memiliki signifikansi kemanusiaan
yang dalam. Dalam kerangka seperti inilah, saya ingin melihat makna kemerdekaan itu
dalam perspektif iman Kristen saya.
Kemerdekaan Indonesia: Pekerjaan penyelamatan Allah
Sudah jelas bagi bangsa Indonesia, bahwa kemerdekaannya
dimungkinkan oleh adanya rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi umat Kristen, sesuai
dengan ajaran dan iman yang diyakininya, pertanyaannya lalu menjadi, 'Dapatkah umat
Kristen di Indonesia menerima dan mau mengembangkan ajaran bahwa kemerdekaan yang
diperoleh oleh bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945 itu merupakan bagian dari Karya
Penyelamatan Allah?' Kalau jawabannya adalah 'Dapat', maka saya kira umat Kristen
di Indonesia sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari fenomena Indonesia itu,
sehingga kekristenannya yang berkembang mempunyai nuansa-nuansa yang berbeda dari
umat Kristen di Belanda atau Amerika. Perbedaan itu sesuatu yang wajar saja. Justru
menjadi tidak wajar apabila kekristenan itu lalu menjadi sama. Perbedaan itu harus
terjadi, karena konteks sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan di mana umat Kristen
di tempatkan oleh Tuhannya di Indonesia berbeda dengan konteks Belanda atau Amerika.
Oleh karena itu, pergumulan dan tantangan yang dihadapi mengakibatkan terbentuknya
sikap dan pemahaman yang khas dalam dirinya sendiri. Salah satu contoh, perbedaan
itu adalah konteks keragaman agama. Umat Kristen di Indonesia mempunyai konteks keragaman
agama yang lebih kaya ketimbang umat Kristen di Belanda atau Amerika. Perjumpaan
dengan agama yang beragam itu sendiri dapat menjadikan umat Kristen di Indonesia
lebih kreatif seperti pemahaman kita terhadap sila pertama itu.
Saya sendiri melihat adanya dua dasar yang menyebabkan mengapa
umat Kristen di Indonesia merasa perlu mengembangkan sikap yang demikian itu. Pertama,
dasar sejarah, yaitu pernyataan banyak pemimpin umat Kristen di Indonesia yang mengatakan
bahwa kemerdekaan Indonesia itu adalah anugerah Tuhan. Dalam berbagai kesempatan,
Rumambi, Leimena, Simatupang, Probowinoto dan lain-lainnya, selalu menegaskan hal
itu. Pernyataan-pernyataan seperti ini telah mengakibatkan adanya komitmen yang sungguh-sungguh
dari umat Kristen di Indonesia untuk menjaga kelangsungan kehidupan kebangsaan negara
kesatuan Indonesia ini. Bagi umat Kristen di Indonesia, negara kesatuan Republik
Indonesia yang akan dibelanya itu adalah negara kesatuan yang diproklamasikan pada
tanggal 17 Agustus 1945.
Dasar dari sikap yang demikian ini dapat dilihat dari sejarah
tercapainya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dari apa yang terjadi dalam sejarah
Indonesia, paling sedikit ada dua desain proklamasi kemerdekaan yang hampir terjadi.5
Kedua desain proklamasi itu adalah proklamasi yang disiapkan
oleh BPUPKI yang dilaporkan oleh Soekarno-Hatta kepada Laksamana Terauchi di Dalat,
dekat Saigon, tanggal 15 Agustus 1945. Menurut rencana, proklamasi ini akan dilaksanakan
sekitar tanggal 22 Agustus 1945. Desain proklamasi ini akan dilakukan dengan naskah
proklamasi yang disebut Pernyataan Indonesia Merdeka. Desain proklamasi ini yang
oleh para pemuda waktu itu disebut sebagai 'proklamasi sebagai hadiah Jepang.' Desain
proklamasi kedua, adalah proklamasi para pemuda yang ingin dilaksanakan oleh para
pemuda sendiri tanggal 16 Agustus 1945. Dalam kenyataannya, kedua desain itu gagal
dilaksanakan. Yang terjadi adalah kemerdekaan yang bukan kedua desain itu. Kemerdekaan
ini yang merupakan hasil dari percakapan panjang tanggal 16 Agustus 1945 antara para
pemuda dengan Soekarno-Hatta, adalah desain ketiga dengan naskah proklamasi yang
sangat sederhana. Desain inilah yang oleh Mohammad Roem disebut sebagai proklamasi
'kemerdekaan sebagai rahmat Tuhan.'6
Dengan demikian kemerdekaan itu bukan rekaan manusia BPUPKI
atau pun rekaan para pemuda. Dia terjadi karena adanya campur tangan Tuhan sendiri,
sesuatu yang terjadi di luar rencana sebelumnya. Dengan naskah proklamasi yang sangat
sederhana itu, kemerdekaan yang diproklamasikan membawakan mandat yang lebih terbuka
ketimbang naskah proklamasi yang sudah disiapkan oleh BPUPKI sebelumnya yang lebih
ketat dengan muatan mandat-mandat tertentu.
Dalam pengertian seperti inilah, saya melihat bahwa kemerdekaan
itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Roem, yang juga dipahami oleh Leimena,
Probowinoto, Rumambi, Simatupang, dan sebagainya. Kemerdekaan seperti itu adalah
kemerdekaan dengan Pancasila sebagai dasarnya, dan sila pertama yang meletakkan landasan
moralnya itu.
Dasar kedua, adalah dasar keagamaan, yaitu kenyataan sebagai
orang Kristen yang hidup dalam zaman penjajahan. Sebagai orang yang dijajah oleh
pemerintahan Belanda yang pada dasarnya adalah Kristen, maka perlakuan mereka seharusnya
menjadi khusus kepada saya yang beragama Kristen, karena kami adalah sesama orang
Kristen. Sayangnya, perlakuan khusus ini tidak terjadi pula. Masih ada pembedaan-pembedaan.
Misalnya, sekalipun saya seorang Kristen, sebagai inlander, saya tidak diperkenankan
menduduki jabatan-jabatan tertentu. Ini berarti, bahwa sebagai orang Kristen, saya
yang inlander belum juga dinilai sebagai manusia yang setara (equal)
dengan sesama saya yang Belanda dan Kristen. Saya tidak boleh, bahkan tidak akan
bisa menjadi Gubernur Jenderal. Artinya, keselamatan secara rohani karena menjadi
Kristen di bawah pemerintahan penjajahan yang pada dasarnya adalah Kristen tidak
memberikan kesamaan kemanusiaan yang utuh, karena masih ada keterbatasan politik.
Itu berarti pula, bahwa keselamatan di dalam agama saja tidak mempunyai makna apa-apa
terhadap kemanusiaan seseorang, tanpa adanya kemerdekaan politik. Hanya karena adanya
kemerdekaan politik, maka keselamatan itu menjadi utuh. Hanya di dalam alam kemerdekaanlah
batasan-batasan yang diberlakukan oleh pemerintahan penjajahan bisa diatasi. Hanya
di dalam alam kemerdekaan itulah sebagai seorang Kristen yang inlander, saya
bisa secara hukum menjadi presiden. Karenanya, menurut hemat saya, kalau sesudah
dan di dalam alam kemerdekaan lalu hak-hak saya dibatasi, hanya karena saya seorang
Kristen, maka selain mengingkari kemanusiaan saya, hal itu juga berarti saya sedang
dijajah di negeri saya dan oleh bangsa saya sendiri. Kemerdekaan yang menjadi hak
setiap bangsa seperti yang tercantum dalam alinea pertama dari Pembukaan itu tidak
terwujudkan. Artinya, bangsa Indonesia mengingkari sendiri pernyataan dirinya sendiri.
Pengingkaran ini lebih jauh dapat disebutkan sebagai penghinaan terhadap Tuhan Yang
Maha Kuasa itu. Dalam pemahaman kita sebagai bangsa Indonesia, bersama-sama kita
adalah umat-Nya. Karenanya, perlakuan yang tidak setara antara satu terhadap yang
lainnya, sangat tidak menghormati Tuhan kita itu. Kemerdekaan, karena itu, benar-benar
adalah anugerah, rahmat Tuhan sendiri. Mengingkari hak kemerdekaan seseorang itu
dengan demikian adalah mengingkari anugerah, rahmat Tuhan yang telah sama-sama diakui
oleh bangsa Indonesia. Dan, mengingkari anugerah, berarti pula mengingkari religiositas
bangsa Indonesia sendiri.
Apa artinya menjadi yang demikian? Umat Kristen akan melihat
Indonesia benar-benar sebagai ajang, tempat Tuhan yang sedang berkarya, dan untuk
itu selain pemerintah, umat Kristen adalah mitra kerja Tuhan yang setara untuk memperjuangkan
dan mempertahankan kemerdekaan itu. Konsekuensinya, pembangunan yang memang perlu
dilakukan oleh bangsa Indonesia akan dipahami oleh umat Kristen di Indonesia juga
sebagai tugas dan panggilan mereka di Indonesia. Ibadahnya bukan hanya terjadi pada
hari Minggu atau gereja saja, melainkan pada semua dari hari yang ada dalam kehidupannya,
dan di mana saja dalam daerah Indonesia Merdeka ini. Tindakan pelayanan dan kesaksian
mereka di Indonesia dalam rangka membela dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia
adalah merupakan tindakan pertanggungjawaban dari religiositas Indonesia itu. Karena
itu, tindakan pembelaan kemerdekaan adalah tindakan keagamaan.
Dengan pemahaman keagamaan seperti ini, keragaman agama
tidak menjadi masalah lagi, karena semua umat beragama di Indonesia telah memiliki
religiositas yang sama. Bagi umat Kristen, menjaga dan memelihara kemerdekaan Indonesia,
yang berarti mencegah terjadinya kemiskinan, memperkembangkan kemerdekaan, keadilan
dan hak asasi manusia serta membina kerukunan hidup umat beragama, adalah bagian
dari panggilan untuk memelihara pekerjaan penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus,
yang merupakan dasar iman yang utama dari setiap pengikut Kristus. Pemahaman terhadap
konteks ke Indonesiaan menyebabkan umat Kristen di Indonesia harus melihat umat beragama
yang lainnya juga sebagai bagian dari religiositas yang sama, yaitu bersama-sama
adalah umat yang mengakui Tuhan yang sama itu, yang dalam tradisi kekristenan, Tuhan
itu dipahami sebagai Tuhan yang Kristen adalah Anak-Nya. Pemahaman yang demikian
itu tidaklah berarti meniadakan pemahaman terhadap Tuhan yang sama menurut tradisi
keagamaan yang lain. Dalam kekayaan pemahaman tradisi keagamaan yang beragam, terbentang
suatu perspektif besar yang memberikan harapan bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang, melalui keberadaan kebangsaannya, terbuka satu kemungkinan bagi dikembangkannya
religiositas umat manusia yang baru, seperti yang sudah dilakukan bangsa Indonesia
lewat pemahaman terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, Ketuhanan yang Maha Esa.
Penutup
Religiositas Indonesia, sebagaimana yang telah ditunjukkan
oleh para pendiri bangsa ini, ketika mereka bekerja keras, bahu-membahu tanpa pandang
bulu satu terhadap yang lain, telah menghasilkan Indonesia yang sarat dengan muatan
signifikansi kemanusiaan. Dalam jiwa dan semangat kemerdekaan yang membara, para
pendiri bangsa itu bersama-sama telah menunjukkan suatu religiositas yang melampaui
batas-batas konvensional dari pemahaman keberagamaannya sendiri. Religiositas ini
adalah religiositas yang transformatoris, karena dia menuntut pemahaman yang melewati
batas-batas kebenaran ajaran dan dogma hasil pergumulan manusia dalam agama-agama
tertentu, dan menempatkan dirinya sebagai manusia yang bertuhan satu saja, yaitu
Tuhan Pencipta, sumber dari segala kehidupan dan kemanusiaan manusia. Di depan Tuhan
yang satu itu, manusia dengan agamanya masing-masing menempatkan dirinya dalam kerendahan
dan kesadaran, bahwa bersama-sama mereka adalah Anak-anak Tuhan itu,
dengan segala kekuatan dan kelemahan mereka, kemuliaan dan kehinaan mereka. Mereka
adalah manusia-manusia yang berusaha dengan segala kekuatannya untuk memahami dengan
lebih baik Tuhan yang satu itu, dan kehendak-Nya bagi umat manusia lewat pengalaman
bersama dan pengenalan terhadap sesamanya dengan agamanya (penghayatan terhadap Tuhan).
Dengan demikian, manusia itu bisa menjadi umat yang baik dari Tuhan yang semakin
mereka kenal lebih baik. Untuk satu masyarakat Indonesia yang heterogen seperti Indonesia,
hanya sikap seperti itulah yang dapat menyelamatkan persatuan dan kesatuan hidup
berbangsa dan bernegara kita, kemanusiaan bersama kita sebagai bangsa Indonesia di
masa depan.
Bagi suatu bangsa yang heterogen seperti Indonesia ini,
kita bisa bertahan sampai lebih dari 50 tahun dalam persatuan dan kesatuan seperti
diproklamasikan semula, bukanlah prestasi yang kecil. Kita mempelajari dari negara-bangsa
yang merdeka sesudah zaman kolonial, bahwa ada banyak negara yang tidak bisa mempertahankan
kesatuannya karena mereka gagal justru dalam memperkembangkan religiositas bersama
mereka. India, Pakistan, Sri Lanka, Filipina dan sebagainya, adalah sekadar contoh
yang dapat diketengahkan. Terlalu banyak yang sangat menekankan religiositas satu
agama tertentu, sehingga keberadaan kemanusiaan sesama warga negaranya yang lain
lalu terabaikan, kalau tidak dapat dikatakan sebagai... malah dihancurkan. Apakah
Indonesia harus mengalami tragedi seperti itu, hanya karena ada satu agama yang ingin
mempertahankan keistimewaannya tanpa menghormati keberadaan yang lainnya?
Karena itulah, kita perlu memberi perhatian terhadap religiositas
bangsa ini. Pembinaan hidup beragama dengan religiositas seperti inilah yang bisa
menjawab satu pertanyaan yang cukup penting bagi kita. Pertanyaan itu adalah "Kalau
50 tahun pertama bangsa ini masih bisa bertahan dalam persatuan dan kesatuan sesuai
dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan 17 Agustus 1945, bagaimana
Indonesia di 50 tahun kedua dari kemerdekaannya?"
Untuk mengakhiri percakapan ini, saya ingin mengemukakan
sebuah cerita tentang Badu. Ia adalah seseorang yang sangat menghormati ibunya. Dia
sangat mengasihi isterinya, dan menyayangi anaknya dengan setulus-tulusnya. Ia juga
sangat akrab dengan sahabat karibnya. Setelah Badu meninggal, ibu, isteri, anak dan
sahabat itu masing-masing mengklaim, bahwa mereka secara sendiri-sendirilah yang
paling mengenal Badu. Ibunya merasa dia yang paling mengenal, karena dia yang melahirkan
dan membesarkannya. Isterinya sebaliknya, mengatakan bahwa dialah yang paling tahu
siapa si Badu, melebihi pengenalan si Ibu, karena dengan isterinyalah si Badu telah
menjalin hubungan yang paling intim yang mungkin terjadi di antara dua insan manusia
sebagai suami-isteri. Si Anak yang pernah merasakan kasih sayang yang tulus dari
ayahnya juga mengklaim, bahwa dialah yang paling tahu siapa si Badu itu. Sahabatnya,
dengan tenang mengatakan, bahwa dialah yang paling tahu siapa si Badu itu, karena
ketika ada ketegangan di dalam keluarganya, atau masalah yang dihadapinya, Badu selalu
mencarinya dan menumpahkan semua isi hatinya sebagai kawan bicara yang dipercayai.
Siapakah yang paling mengenal si Badu itu? Adakah di antara masing-masing pihak yang
paling mengenal si Badu? Apakah Badu memang dikenal oleh masing-masing pihak sebagai
seorang Badu? Salahkah masing-masing pihak mengklaim, bahwa mereka paling mengenal
Badu? Utuhkah pengenalan masing-masing pihak terhadap Badu? Bagaimana mereka bisa
ditolong dari perbedaan mereka?
Masing-masing pihak memang telah mengenal Badu dengan baik
dan benar, sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Pemahaman mereka terjadi dalam posisi
mereka masing-masing. Apakah Badu sebagai satu pribadi hanyalah anak yang menghormati
Ibunya saja? Apakah Badu hanya seorang suami yang mengasihi isterinya saja? Apakah
Badu memang hanya seorang Bapak yang sayang anaknya saja, atau hanya seorang sahabat
karib? Badu adalah Badu. Dia adalah seorang anak, seorang suami, seorang Bapak dan
seorang sahabat sekaligus, yang dalam menyatakan dirinya kepada masing-masing pihak
telah dilakukannya dengan sepenuh dirinya. Tetapi dengan begitu, masing-masing pihak
lalu bisa mengklaim bahwa Badu hanya anak saja, atau suami saja, atau ayah saja,
dan atau sahabat saja? Bisakah Badu dibatasi hanya sebagai yang demikian? Badu adalah
Badu, yang anak, yang suami, yang ayah dan yang sahabat sekaligus. Dalam situasi
yang demikian, tidaklah salah adanya pengenalan dari masing-masing pihak. Mereka
benar dalam posisi pengenalan mereka sendiri-sendiri. Dan mungkin sudah cukup pengenalan
itu bagi mereka untuk mengenal dan hidup dengan pengenalan itu. Mereka sudah berada
dalam batasan pengenalan itu. Masing-masing bisa puas dengan pengenalan itu dan tidak
salah. Mungkin yang bisa dipertanyakan kemudian adalah, bisakah masing-masing mengklaim
secara mutlak bahwa hanya pengenalannya sendiri sebagai satu-satunya pengenalan yang
benar atas Badu? Sehingga, tidak ada pengenalan si Badu itu dengan lebih utuh agar
dapat dibuat cerita dan berita, mereka membutukan satu terhadap yang lainnya? Mestinya!
1.Disampaikan dalam Seminar Agama-agama XV 1995 Balitbang
PGI bekerja sama dengan Yayasan Bina Darma, tanggal 21 September 1995 di Kampus Bina
Darma, Salatiga. (Seminar berlangsung dari tangal 17-23 September 1995).
2. Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma dan Nannie Hudawati (ed),
Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
- Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI): 28 Mei 1945 - 22 Agustus 1945.
Kata pengantar oleh Taifik Abdullah (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia
, 1995), 63-84.
3. Sebenarnya analisis latar belakang ideologis ini tidak hanya
bisa dikenakan pada urusan Trisilanya saja, melainkan dalam rumusan Pancasila pun
hal seperti itu dapat dilakukan. Kebangsaan Indonesia (nasionalisme) dapat ditarik
ke akar nasionalisme. Internasionalisme, demokrasi dan kesejahteraan sosial mempunyai
gaung dari Marxisme-Sosialisme, dan Ketuhanan berhubungan dengan Islam.
No comments:
Post a Comment