Memangnya Dia Bisa Merobek Bendera Itu Sendirian
Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya (3-Habis)
Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya (3-Habis)
Setelah hampir 25 tahun tinggal di Sydney, Australia, Soemarsono
sempat ke Surabaya. Tujuh tahun yang lalu. Yakni ketika dia ke Jakarta
untuk menengok anak-anaknya. Kali ini dia ke Indonesia sebagai orang
asing. Ia ingin tahu bagaimana keadaan Kota Surabaya. Kota yang pada
1945 melakukan pertempuran besar dan dialah salah seorang tokoh
utamanya. Dia juga sempat ke Jalan Peneleh untuk melihat rumahnya yang
bersejarah itu.
Rumah itu, tentu sudah berubah. Penghuninya sudah tidak dia kenal lagi. “Tapi pemilik rumah yang sekarang sangat baik. Saya diperbolehkan masuk. Dia juga merasa bangga bahwa rumahnya itu ternyata rumah yang bersejarah,” ujar Soemarsono menceritakan perjalanannya ke Surabaya itu.
Karena memang tidak ingin menonjolkan diri, waktu ke Surabaya itu Soemarsono tidak ingin menemui tokoh siapa pun. Dia hanya ingin mengenang pengalaman pribadinya sebagai orang biasa saat ini. Bahkan sebagai orang asing pula.
Rumah itu, tentu sudah berubah. Penghuninya sudah tidak dia kenal lagi. “Tapi pemilik rumah yang sekarang sangat baik. Saya diperbolehkan masuk. Dia juga merasa bangga bahwa rumahnya itu ternyata rumah yang bersejarah,” ujar Soemarsono menceritakan perjalanannya ke Surabaya itu.
Karena memang tidak ingin menonjolkan diri, waktu ke Surabaya itu Soemarsono tidak ingin menemui tokoh siapa pun. Dia hanya ingin mengenang pengalaman pribadinya sebagai orang biasa saat ini. Bahkan sebagai orang asing pula.
Dia ingin konsekuen pada pendirian lamanya agar jangan sampai ada
satu atau dua orang saja yang mengklaim dirinya sebagai yang paling
berjasa dalam pertempuran Surabaya yang bersejarah itu.
Karena itu, Soemarsono juga gelo ketika mengetahui ada orang yang
ngotot minta diakui sebagai yang paling berjasa dalam peristiwa
penyobekan bendera tiga warna di atas Hotel Oranye (kini Hotel Majapahit
di Jalan Tunjungan) itu. Yakni peristiwa kemarahan pemuda Surabaya
ketika melihat bendera Belanda (merah-putih-biru) berkibar kembali di
tiang bendera di atas atap lobby hotel tersebut.
“Memangnya dia bisa merobek bendara itu sendirian. Kalau tidak ada
orang-orang yang mau pundaknya dia injak, apakah dia bisa mencapai
bendera itu” Kalau tidak ada orang yang ramai-ramai naik ke gedung itu,
apakah dia bisa naik” Kalau tidak ada puluhan pemuda yang memenuhi
halaman hotel itu sambil berteriak-teriak memaki Belanda, apakah mereka
berani naik” Semua orang itu, ratusan orang itu, semua berjasa,” kata
Soemarsono.
Hari itu, 19 September 1945. Beberapa pemuda datang ke rumahnya di
Jalan Peneleh. Rumah Soemarsono memang jadi pusat kegiatan pemuda
Surabaya. Dia sudah jadi ketua Pemuda Minyak Surabaya, sebelum akhirnya
jadi ketua Pemuda Republik Indonesia –organisasi yang menghimpun
perkumpulan-perkumpulan pemuda di kota ini. Saat itu Surabaya memang
menjadi kota minyak sehingga banyak buruh minyak yang jadi aktivis
pergerakan. Para pemuda umumnya dari golongan kiri karena Soemarsono
adalah tokoh PKI ilegal –sejak pemberontakan 1926 PKI dilarang hidup di
Indonesia dan kelak baru hidup lagi pada 1950.
Tiba di rumah Soemarsono para pemuda itu melaporkan adanya bendera
Belanda yang berkibar kembali di atas hotel tersebut. Rombongan pemuda
yang ke rumah Soemarsono itu berjumlah sekitar 10 orang. Mereka menuntut
agar Soemarsono mau bertindak. “Waktu itu di rumah saya juga lagi ada
beberapa tokoh pemuda seperti Roeslan Widjajasastra,” kata Soemarsono
mengenang.
Maka, dengan modal sekitar 10 orang itu Soemarsono mengajak mereka
berjalan ke arah hotel untuk menurunkan bendera itu. Sepanjang
perjalanana dari Peneleh ke Jalan Tunjungan mereka terus berteriak.
Intinya mengajak orang-orang yang mereka lewati untuk bergabung
bersama-sama ke Jalan Tunjungan. Tukang-tukang becak pun ikut. Kian lama
jumlah yang bergabung kian banyak. Sampai di depan hotel jumlahnya
sudah ratusan orang.
Menurut Soemarsono, mereka langsung masuk ke halaman hotel. Mereka
melihat ada seorang petugas hotel yang berseragam sersan. Dia adalah
tentara Inggris yang ditugaskan menjaga hotel. Kepada si sersan mereka
berteriak-teriak sambil menudingkan tangan ke atas atap, ke arah bendera
berkibar. Maksudnya agar si sersan segera menurunkan bendera tersebut.
“Turunkan bendera itu! Turunkan bendera itu….,” teriak mereka seperti ditirukan Soemarsono.
“Turunkan bendera itu! Turunkan bendera itu….,” teriak mereka seperti ditirukan Soemarsono.
Si sersan tidak mau beranjak. “Dia hanya melongo saja. Rupanya dia
tidak mengerti bahasa Indonesia sehingga tidak paham apa arti teriakan
turunkan bendera itu…,” ujar Soemarsono.
Sesaat kemudian, dari dalam hotel muncullah seorang Belanda yang
badannya seperti petinju. Besar dan kokoh. Belakangan diketahui bahwa
dia adalah W.V.Ch. Ploegman, orang yang oleh Belanda ditugaskan kembali
sebagai wali kota Surabaya. Sebagai wali kota sebenarnya dia sudah tidak
berdaya. Surabaya sudah dikuasai pergerakan rakyat. Sambil keluar dari
hotel, Ploegman mengayun-ayunkan tongkat kayu besar berwarna hitam.
Maksudnya menakut-nakuti massa.
Melihat itu para pemuda mundur beberapa puluh meter. Mereka tertegun
ketika tiba-tiba ada orang yang berani menghadapi dengan senjata yang
diayun-ayunkan. Tapi, tidak lama para pemuda itu tertegun. Dalam suasana
diam yang agak lama itu tiba-tiba mulai ada satu orang di bagian
belakang yang berani berteriak ke arah Ploegman.
“Turunkan bendera itu,” teriaknya dari belakang. Pemuda yang lain
juga mulai ada yang berani mengikuti teriakan itu. Kian lama teriakan
tersebut semakin ramai. Ribut. Gaduh. Kian berani. Bahkan ada yang mulai
berani melempar batu dan pecahan genteng ke arah Ploegman. Kian lama
semakin banyak batu yang dilempar. Keberanian kolektif mereka meningkat.
Mereka menyerbu lagi ke depan hotel.
Tiba-tiba, Ploegman berlumuran darah. Wali kota Surabaya itu
terkapar. Perutnya ditusuk senjata tajam entah oleh siapa. Mungkin oleh
seorang tukang becak yang bisa saja sebenarnya dia tidak tahu siapa
Ploegman sebenarnya –kecuali bahwa orang itu hanyalah orang yang
menyebalkan.
Berhasil merobohkan Ploegman, perasaan menang sudah menguasai mereka. Keberanian terus meningkat. Ada yang mencari tangga dan memasangnya di depan hotel. Puluhan orang mulai menaiki tangga itu menuju atap hotel. Kian lama kian banyak yang naik. Dari atas atap mereka naik lagi dan naik lagi. Menaiki tiang bendera dengan cara menginjak pundak temannya. Salah seorang di antara mereka lalu merobek bagian yang berwarna biru dan menyisakan warna merah dan putih.
Berhasil merobohkan Ploegman, perasaan menang sudah menguasai mereka. Keberanian terus meningkat. Ada yang mencari tangga dan memasangnya di depan hotel. Puluhan orang mulai menaiki tangga itu menuju atap hotel. Kian lama kian banyak yang naik. Dari atas atap mereka naik lagi dan naik lagi. Menaiki tiang bendera dengan cara menginjak pundak temannya. Salah seorang di antara mereka lalu merobek bagian yang berwarna biru dan menyisakan warna merah dan putih.
Banyak bagian dari kisah itu yang juga baru bagi saya. Saya beruntung
sempat bertemu tokoh yang merasa tidak jadi tokoh ini. Apalagi
Soemarsono masih bisa menceritakan apa saja peranannya sebelum
kemerdekaan dan setelah proklamasi kemerdekaan. Juga bagaimana dia
kemudian memimpin peristiwa Madiun 1948 bersama Musso dan Amir
Syarifuddin –yang antara lain membuat banyak keluarga saya dibunuh PKI.
Dalam perbincangan selama lebih dari empat jam itu saya juga bisa
bertanya banyak hal mengenai bagaimana dia melawan pemberontak Simbolon
di Sumut. Lalu, pada 1965 ditangkap dan dipenjarakan selama 9 tahun
karena dituduh terlibat G 30 S/PKI. Juga, bagaimana dia memutuskan untuk
pindah ke Australia dan menjadi warga negara asing. Saya akan
menuliskannya dalam serial yang lain beberapa hari mendatang. (habis).
Sumber:
http://dahlaniskan.wordpress.com/2009/08/11/memangnya-dia-bisa-merobek-bendera-itu-sendirian/
Referensi:
http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20101111/bedah-buku-peristiwa-10-november-1945-soemarsono-di-garis-depan-rosihan-anwar-di-garis-belakang.html
No comments:
Post a Comment